Senin, 09 Juni 2008

BAHASA DALAM DISKURSUS PERUBAHAN SOSIAL

Sebelum kita mendiskusikan lebih jauh tentang wacana bahasa sebagai sebuah pisau analisis dalam diskursus perubahan sosial?. Pertanyaan mendasar bagi kita apakah wacana bahasa memiliki kaitan yang erat dalam menentukan diskursus perubahan sosial. Ataukah bahasa menjadi instrumen dalam perubahan sosial. Bahasa merupakan bagian yang inheren dalam menentukan wacana diskursus/paradigma perubahan. Dalam konteks sosial banyak interpretasi yang muncul dari berbagai kalangan masyarakat dalam memaknai bahasa dalam kaitannya dengan wacana perubahan sosial. Dalam realitas sosial sering kali menjadi ruang interpretasi dan pertarungan wacana dalam menganalisis realitas masyarakat. Bahasa menjadi perangkat penting dalam mempengaruhi setiap orang dalam membentuk nalar dalam menganalisis dan membedah realitas sosial. Wacana dan diskursus selalu mereproduksi kuasa dan kepentingan, nalar kita selalu dibentuk bukan nalar pembentuk dalam membedah atau membongkar keterselubungan bahasa dan kuasa yang tersembunyi dalam mempengaruhi nalar kita untuk melihat sesuatu. Michel Foucault mengatakan kuasa selalu mereproduksi pengetahuan dan kepentingan. Dalam konteks sosial kita selalu terjebak, karna medan sosial selalu menjadi pertarungan kepentingan dalam membentuk opini publik, legitimasi nalar instrumental menjadi alat pamungkas dalam merasionalisasikan kepentingan. Selalu menafikan problem yang mendasar dalam realitas sosial masyarakat. Kita tidak bisa menafikan pengaruh bahasa mereproduksi kuasa dalam membangun pencitraan sosial. Bagaimana peranan media massa menjadi salah satu ikon dalam membentuk tatanan sosial baru bagi masyarakat. Peran media sangat signifikan dalam membongkar tatanan masyarakat diera abad ke-21, seolah-olah kita menafikan tanggung jawab sosial manusia dalam melawan hegemoni pengetahuan dalam mempengaruhi paradigma perubahan sosial. Agak kesulitan kalau kita tidak punya metodologi yang kontekstual dalam melacak akar sejarah dan perkembangan sosial masyarakat. Perkembangan zaman selalu berubah dari hari kehari, maka diskursus perubahan sosial pun selalu berubah seiring problem sosial masyarakat semakin kompleks. Artinya kita melihat kemungkinan dan peluang bagaimana relasi bekerjanya kuasa, pengetahuan dan ideologi. setiap kehadiran ideologi tidak lepas dari kepentingan dalam memapankan dirinya, apakah ideologi islam, sosialisme, marxisme dan kapitalisme. Analisis kita berbeda dengan model gerakan Marxisme Karl Marx hanya bertumpu pada tataran ideologi, politik dan ekonomi, tidak melihat relasi kerja ideologi dan bahasa. kerangka analisis Karl Marx selalu oposisi biner, justru melahirkan pertarungan kelas borjuasi direpresentasi ideologi kapitalisme dan kelas proletar direpresentasi idelogi sosialisme. Dalam konteks kekinian analisis marxisme agak kesulitan dijadikan landasan gerakan, sebab pertarungan dan dominasi kelas bukan hanya bertumpu pada ideologi, ekonomi dan politik menyebabkan konflik kelas. Ternyata kapitalisme pun tidak ketinggalan wacana dan metodologi dalam mengamati dinamika perkembangan dan perubahan zaman. Ranah sosial, politik, budaya sebagai identitas sudah terperangkap dalam jejaring ideologi kapitalisme dalam membentuk citra dan prestise sebagai tanda sosial. Jadi apa yang menjadi motivasi dan harapan perubahan sosial masyarakat dimasa akan datang? Saya bukan pesimis dengan kondisi masyarakat, akan tetapi setidaknya gagasan dan pikiran saya untuk mencoba merefleksikan kegelisahan kondisi sosial masyarakat. kehadiran zaman pencerahan (renaisans) abad ke-19 sebagai ukuran kemajuan barat dalam mengangkat martabat manusia dari cengkraman dominasi kelompok bangsawan, tuan tanah, gereja yang menindas, penuh dengan mitos-mitos yang irasional. kebangkitan peradaban barat justru menginjeksi spirit untuk bangkit dalam melawan dominasi gereja yang irasional dan tidak manusiawi. kebangkitan barat mendapatkan momentum dengan kehadiran renaisains, maka mulai muncul para filosof, ilmuwan dalam menciptakan teknologi dan industri modern secara besar-besaran didataran Eropa dan Amerika. Teknologi menjadi kekuatan yang ampuh bagi barat dalam menguasai dunia, artinya logika kekuatan industri menjadi alat yang strategis dalam menguasai hasil kekayaan alam di negara-negara berkembang. Dunia seolah-olah terasa hampa akibat hantaman gelombang dahsat bernama modernitas mendekonstruksi/membongkar sana-sini tanpa merekonstruksi kembali nilai/norma sosial. Modernitas belum berakhir dalam menjajah ranah sosial, politik, budaya, agama. Alienasi dan keterasingan manusia dari dimensi sosial belum menandakan tanda-tanda akan berakhirnya hegemoni dan domonasi modernitas. Hegemoni dan dominasi era modernitas belum dituntaskan dalam menyelesaikan persoalan. Post modernitas muncul untuk merayakan berakhirnya hegemoni dan dominasi kapitalisme, persoalan masyarakat belum tuntas pada era modernitas. Pertanyaannya apakah kehadiran post modernisme adalah berakhirnya proyek modernitas ataukah bagian dari proyek modernitas yang belum dituntaskan/disempurnakan, ataukah pemutusan mata rantai secara total dari siklus modernitas, ataukah metamorfosis dari sintesa bingkai gerakan kapitalisme neo-liberalisme mencoba merumuskan agenda baru penjahan. Walaupun misi post modernisme adalah pembebasan manusia dari cengkraman hegemoni dan dominasi. Kematian makna sosial dalam era post modernitas seolah-olah merefleksikan berakhirnya dominasi modernitas yang cenderung mengagungkan rasionalitas instrumental sebagai alat legitimasi ilmu pengetahuan barat dalam mendominasi kehidupan manusia. Standarisasi nilai/norma sebagai identitas dalam ranah sosial masyarakat tidak lagi menjadi homogen melainkan heterogenitas nilai/norma yang harus dianut oleh masyarakat. Semua identitas kelokalan masyarakat memiliki nilai kearifan berdasarkan tradisi dan budaya masyarakat setempat. Berbeda dengan era modernitas yang cenderung mengabaikan pluralitas nilai/norma sosial masyarakat. Artinya tidak ada lagi klaim narasi-narasi besar yang harus dianut oleh masyarakat. Post Modernisme adalah sebuah terobosan gagasan baru intelektualitas untuk merefleksikan kebuntuan ilmu pengetahuan era modernitas yang cenderung mekanistik dan deterministik dalam memandang keabsahan kebenaran. Paradigma Cartesianisme inilah yang melahirkan ketidak objektifan ilmu pengetahuan dalam melihat kebenaran, seolah-olah Barat menjadi sentrum pengetahuan bagi Timur. Nalar instrumental inilah yang membentuk pencitraan dan bagaimana cara kerja ilmu pengetahuan positifistik dalam ranah sains, sosial, budaya, agama, pendidikan dan ekonomi sangat terasa implikasinya bagi manusia, lingkugan dan kehidupan sosial lainnya. Sekiranya kita bukan menolak atau menerima kemajuan modernitas, akan tetapi yang kita tolak adalah ketidak objektifan paradigma modernitas barat mengklaim keberadaan Timur itu kolot, tidak modern dan tidak gaul. Disinilah cara kerja pengetahuan dan kuasa dalam membentuk dan mempengaruhi cara berpikir kita?. Akan tetapi kehadiran post modernitas adalah jalan baru dalam meretas kebuntuan-kebuntuan yang belum diselesaikan era modernitas, akan tetapi disisi lain kehadiran post modernisme juga membingungkan bagi kita? Walaupun posmo sendiri tidak jelas keberadaannya, semua identitas sosial diakomodir. Dalam ranah sosial menjadi problem kadangkala hal-hal yang privat dan publik pun tidak jelas batasnya, artinya mana yang perlu di pamerkan dan mana yang harus dirahasiakan. Kadangkala kita merasa eforia atas kehadiran posmo semua harus dirayakan biar yang privatpun harus dipamerkan. Masyarakat kita sering kebingungan mana mesti menjadi sandaran dalam kehidupan apakah hal-hal yang religius atau Media massa sebagai sandaran kehidupan. Reproduksi kuasa dan kepentingan dalam media sangat luar biasa dalam membentuk lingkaran setan yang tidak jelas dalam mempengaruhi khalayak. Dalam aspek religius media pun tidak ketinggalan untuk menawarkan hal-hal spiritualitas baru yang menyenangkan batin seperti kursus kilat sholat, puasa, berbusana dll.
Hilangnya Tapal Batas Antara Ruang Publik dan Privat
Munculnya ruang publik di Eropa sekitar abad ke-17 dan ke-18 dalam menentang otoritas absolutisme negara dalam sejarah Eropa Modern. Kelahiran ruang publik tidak lepas dari dominasi kelompok borjuasi dalam merebut dominasi dan opini publik. Sebagai bentuk ekspresi, dan kebebasan berpendapat dalam menyampaikan kepentingan kaum borjuis terhadap negara dengan adanya legitimasi kebebasan. Maka aktifitas dan informasi tentang fungsi negara harus transparan dan terbuka kepada publik, agar negara dibawah pengawasan yang ketat bagi publik. Efek dari era modernisasi adalah memisahkan antara ruang publik dan privat, yang berkaitan dengan ruang publik hanyalah persoalan-persoalan yang berkaitan dengan publik seperti politik, ekonomi dan sebagainya. seolah-olah memisahkan dan menempatkan persoalan politik menjadi akar persoalan dalam ranah sosial yang harus diperbincang secara rasional dan kritis bagi publik. Sementara ruang privat hanya di identikan dengan ruang kepolosan/kekolotan seperti ras, agama, gender, suku merupakan persoalan privat yang harus diselesaikan dalam ruang privat pula. Dari dikotomi ruang diatas, maka akan membawa musnahnya perbedaan ruang publik dan privat ketika dikaitkan kedalam ruang sosial. Pemilahan ruang privat-publik yang liberal juga memperoleh kritikan yang tajam dari pemikiran Jurgen Habermas tentang ruang Public Sphere (ruang publik).Ruang publik merupakan wahana pertarungan kontestasi bagi kelompok borjuis dalam membicarakan kepentingan individu maupun kelompok sosial lain. Hal tersebut menandakan begitu kuat dominasi kelompok borjuasi dalam melawan kekuatan negara dan masyarakat. Habermas mengagungkan ruang publik liberal resmi sebagai indikator dalam menyelesaikan kepentingan kelompok borjuis terhadap kebijakan otoritarianisme negara. Disisi lain ruang publik liberal menciptakan ketidakadilan dan kesenjangan sosial, yang seolah-olah persoalan itu dianggap persoalan pribadi atau privat tidak boleh diselesaikan dalam ruang publik. Memberikan akses informasi kepada masyarakat menyangkut akuntabilitas dan transparansi, dan negara bertanggung jawab terhadap kepentingan sebagian warga negara. Gagasan Habermas tersebut terlalu menganulir kepentingan bersama yang harus ditahu oleh publik, padahal itu adalah strategi bagi kelompok borjuis dalam melemahkan kekuatan negara, dan mengatasnamakan kepentingan bersama lebih penting ketimbang kepentingan pribadi. Seolah-olah Habermas melihat relasi persoalan hanya pada tataran struktural yang menjadi akar permasalahan sosial kemasyarakat. Padahal problem tersebut tidak lepas dari persoalan sosial, budaya, agama. Disinilah letak kelemahan Habermas yang terlalu mengidealisasikan ruang publik liberal sebagai ruang publik resmi, dan mengabaikan bentuk ruang lainnya yang non-liberal, non-borjuis, sama-sama memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berkompetisi. Kajian Habermas tentang ruang itu sesuatu yang materi, statis dan tidak dinamis. Henri Levebvre mengatakan ruang adalah sesuatu yang dinamis, direkayasa, dimaknai, dll. Jadi ruang bukan lagi sesuatu yang mati, melainkan imajiner, simbolik yang bisa dimaknai, direprdoduksi secara terus-menerus oleh relasi-relasi pengetahuan dan kuasa. Bagaimana kekuatan bahasa dalam mereproduksi relasi tanda dan kuasa, sehingga sesuatu itu bisa merubah bentuk dan fungsi berdasarkan kepentingan. Katakanlah seksualitas dulu dianggap hal yang suci yang harus dirahasikan dan hanya dikonsumsi dalam wilayah privat. Akan tetapi dalam konteks sekarang seksualitas bukan lagi sesuatu yang tabu yang harus dijaga dan dirahasiakan, melainkan hal lumrah dan bisa dibicarakan dalam konteks apapun. Artinya ada permainan relasi kuasa yang mereproduksi sehingga kata seksualitas bisa melampaui ruang dan waktu. Hilangnya batas antara ruang privat dan publik menandakan tidak adanya kejelasan terhadap objek permasalahan. Pada era modernitas perbincangan kita tentang ruang itu jelas? Akan tetapi dalam konteks kekinian kita agak kesulitan untuk memetakan mana yang privat dan publik. tidak ada lagi dikotomi yang memisahkan dari ruang tersebut melainkan menjadi heterogen. Hilangnya garis demarkasi menandakan bagaimana relasi kuasa bekerja dalam menerobos batas-batas ruang dan waktu. Artinya tidak ada lagi dikotomi, melainkan heterogenitas seiring perkembangan ruang dan waktu, memaksa kita untuk menafsirkan dan memaknai secara kontekstual seiring perubahan paradigma ruang tersebut. Kita tidak lagi memandang suku, agama, ras, sesuatu yang privat melainkan bermetamorfosis menjadi publik.
Agama Sebagai Spirit Perubahan Sosial
Masihkah agama berpihak kepada kelompok mustad’afin dalam memberikan sebuah kekuatan kesadaran untuk melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan, penindasan. Semesti setiap pemeluk agama memiliki tangggung jawab sosial dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial dan politik. buakankah agama memiliki prulalitas teologi dalam setiap kelompok sosial. Kita seringkali berdebat untuk mencari claim kebenaran setiap kelompok mazhab mana yang paling benar dalam menafsirkan bahasa Tuhan. Persoalan untuk mencari klaim kebenaran dan otentisitas dari setiap mahzab tidak lagi menarik untuk dipersoalkan, melainkan apa yang mesti dilakukan dalam membenahi kelemahan agar kita bersatu dalam melawan penindasan dan ketidakadilan. kehadiran agama bukan untuk Tuhan melainkan untuk manusia, kehadiran agama dimuka bumi tidak lain adalah menjadi sandaran/pegangan hidup yang harus diyakini bagi umat beragama. setiap agama atau kelompok mazhab memiliki penjelasan teologis dan sosiologis yang berbeda dalam menafsirkan bahasa Tuhan berdasarkan teks dan konteks. sebab bahasa kitab-kitab suci agama sangat universal dan filosofis dalam menjelaskan keberadaan Tuhan, Manusia dan Alam. sedangkan dimensi antropologi, dan sosiologis menjelaskan tentang manusia, alam dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. sebab agak kerepotan kalau kita hanya menafsirkan secara tekstual teks-teks kitab suci mengandung makna yang universal,filosofis untuk ditafsirkan. ketika si A, dan B menafsirkan teks-teks alqur'an, maka hasilnya antara si A, B pasti akan berbeda sebab akan terjadi pereduksian bahasa, artinya tidak ada klaim kebenaran penafsiran tunggal bagi manusia, melainkan kebenaran tunggal hanya dimiliki Tuhan dalam menjelaskan teks alqur'an sesuai dengan bahasanya secara tepat. Pergulatan sejarah itu tidak lepas dari kuasa dan kepentingan kelompok mana yang memiliki kekuatan massa, dialah menjadi kelompok yang berkuasa. Bentuk praktis teologi seperti apa yang kita miliki sebagai bentuk manifestasi dari sebuah keyakinan? Bukankah teologi juga memiliki cita-cita masa depan baik kelompok mazhab Sunni, Syi’ah, Mutazilah, Asi’ariyah, Ahmadiyah, NU, Muhammadiyah dan sebagainya. Dalam tataran praktis kita agak kesulitan untuk menafsirkan dan membentuk teologi yang dinamis dan komprehensif dalam menjawab tantangan dan dinamika kehidupan manusia. Hassan Hanafi dalam bukunya berjudul “Dari Teologi Statis Irasional ke Teologi Progresif Anarkis” menawarkan cara pandang baru dalam model keberagamaan. Upaya menerobos batas yang selama ini terpenjarakan oleh sejarah masa lalu. Artinya ada lompotan berpikir rasional dalam melihat masa depan. Karna selama ini kebekuan nalar bentukan yang selalu mendominasi cara berpikir. Oleh karena itu tidak lagi melihat sesuatu cenderung irasional, takhayul, bid’ah, kafir, sesat, fundamental, liberal akan tetapi kita melihat problem sosial masyarakat secara rasional dan kritis. Karna perubahan zaman tersebut menuntut pembenahan paradigma berpikir dan beragama yang terbuka dan holistik. Sesungguhnya kita beragama bukan karena paksaan orang lain akan tetapi kita sadar akan agama yang memberikan harapan dan kepastian masa depan. tidak relevan saya kira untuk mencari pembenaran mana yang benar dan tidak benar/ selamat dan tidak selamat menuju surga atau akhirat. yang jelas dari setiap agama langit memiliki cita dan tujuan dalam mengantarkan setiap umatnya pada jalan kebaikan dan keselamatan, setiap pilihan memiliki konsekuensi logis. apapun teologi dan keyakinan yang kita yakini kita konsisiten dalam menjalankan dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama seperti kebaikan, cinta, kasih sayang, kebenaran, keadilan dan anti penindasan.

Penulis, Abdullah Pengamat Sosial Kemasyarakatan.