Minggu, 25 Mei 2008

LIBIDO DAN SAHWAT POLITIK DALAM PILKADA

Perbincang tentang demokrasi bukan sesuatu yang baru di kalangan masayarakat Indonesia. Akan tetapi kehadiran sistem demokrasi yang liberal di tawarkan ala Amerika tidak mampu membawa wajah Indonesia baru. seolah-olah dia hadir sebagai salah satu sistem baru yang belum di terapkan oleh Negara dunia ketiga. Justru demokrasi juga tidak memberikan ruang apresiasi bagi semua orang untuk berkompetisi dalam pentas politik. Dalam konteks PILKADA sebagai salah satu piranti demokrasi mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam menentukan sikap dan pilihannya secara bebas, masih terjebak dengan hal-hal yang sangat material dan menguntungkan bagi segelintir orang.
Pertanyaanya! apakah tidak ada model demokrasi lain yang cocok dengan konteks keindonesiaan? Kalau kita runut dari sejarah bangsa indonesia saya kira Soekarno Hatta pernah menerapkan model demokrasi kerakyatan ala pancasila. Demokrasi pancasila pada masa orde lama memiliki peranan yang signifikan dalam konteks sosial politik indonesia ketimbang model demokrasi sekarang yang dipraktekan rejim pemerintahan yang notabene mengatasnamakan dirinya kaum reformis. Justru melahirkan para politisi, pengamat, intelektual gadungan yang selalu mengkhotbah dimana-mana, sementara persoalan sosial, politik masyarakat cenderung diabaikan oleh pemerintah. Setidaknya dimana tanggung jawab para pengamat dan intelektual dalam membela rakyat ditengah kesemrawutan sosial, ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran akibat kebijakan pemerintah cenderung represif dan destruktif. Kalau memang demokrasi hari ini memberikan kemajuan dan perubahan bagi sistem sosial kemasyarakat dan kenegaraan yang sering kali digembar gemborkan pemerintah, itu hanyalah kamuflase dan retorika yang tidak bermakna dalam memberikan konstribusi bagi perubahan sosial. Sekiranya claim adanya perubahan bangsa indonesia bagi pemerintah, itu hanyalah perubahan tataran prosedural pada level struktural bukan pada subtansi perubahan.
Fenomena PILKADA di sebagian daerah yang melaksanakan pesta demokrasi langsung seperti daerah DKI Jakarta, Banten, Ternate, Sul-Sel, Sumatra Utara diliputi masalah-masalah kecurangan dan money politik. Ini menandakan gambaran begitu rapuhnya sistem demokrasi liberal ala amerika, memberikan peluang-peluang untuk melakukan kecurangan, negosiasi, dan kompromi politik bagi para elit partai, pemerintah, intelektual, mahasiswa dalam memenangkan figurnya masing-masing. Ternyata tidak lepas dari politik representasi dan dominasi dalam membangun pencitraan politik kepublik, inilah pemimpin yang bertanggung jawab, bermoral, spiritualitas dan bervisi masa depan. Retorika/apologitek menjadi strategi untuk menghipnotis ribuan rakyat. Masyarakat menjadi sasaran dalam mendengarkan kampanye, pidato mereka dalam menghipnotis hati masyarakat untuk dijadikan pemimpin yang dipilih ketika pilkada berlangsung. Masyarakat cenderung mengikuti arus dan dikorbankan para elit politik dan bahkan ekstremnya terjadi perkelahian dalam kelompok masyarakat demi kepentingan sesaat yang mengiurkan untuk perubahan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks sosial terjadi ketidak harmonisan antar kelompok masyarakat akan mengakibatkan kerenggangan hubungan sosial. Efek demokrasi prosedural akan melahirkan ketidak beraturan bukan hanya pada level struktural negara (disorder State) melainkan ketidak beraturan dalam level masyarakat sipil (disorder Society).
Ditengah hiruk pikuk situasi bangsa kian tenggelam dalam pusaran globalisasi dan modernisasi zaman. Para elit politik ribut dalam memperebutkan kekuasaan, situasi politik bangsa belum mendapatkan momentum dalam memulihkan kondisi sosial kebangsaan dan kenegaraan. Disisi lain sikap masyarakat cenderung apatis dan pragmatis dalam menghadapi situasi dan tantangan yang tidak menentu yang melanda bangsa indonesia. Harapan akan perubahan kita harapkan dengan datangnya arus gelombang baru reformasi memberikan momentum perubahan dalam menemukan karakter kebangsaan dan kenegaraan sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Karakter kepemimpinan Orde Baru masih mengakar dalam mendominasi sistem pemerintahan. Pasca reformasi arus kilas balik menghantam kembali agenda reformasi yang menggulingkan Soeharto, tuntaskan KKN, Pencabutan Dwi Fungsi ABRI dan sebagainya, belum dituntaskan pada agenda reformasi yang menitikberatkan pada perubahan struktural kenegaraan. Situasi dan kondisi bangsa seolah-olah tidak menemukan karakter kebangsaan yang beradab pasca reformasi.
Dari kilas balik diatas seolah-olah menandakan begitu kuatnya pengaruh rezim militerisme dalam mengendalikan bangsa. Sementara persoalan kian belum menemukan akar permasalahan yang menyebabkan terjadi kesemrawutan sosial, resesi ekonomi dan kebangrutan negara. Disisi lain kuatnya pengaruh asing dalam mengintervensi persoalan dengan dalih membantu untuk menyelesaikan permasalahan bangsa indonesia. Kelompok pro reformasi menjadi sasaran hujatan bagi masyarakat yang sinis dengan melihat kondisi kekinian. Wajar sekiranya masyarakat menuntut hasil dari agenda reformasi dalam memulihkan kondisi sosial masyarakat. Sejarah telah berlalu, kenangan dan harapan masih tersimpan dalam memori sejarah reformasi yang tidak teraktualkan dalam realitas.
Ruang Publik Menjadi Sasaran Praktik Diskursus Politik Tanda
Menarik kita analisis dalam permainan politik modern yang sarat dengan permainan bahasa dan tanda yang membingungkan bagi masyarakat? Apa hubungan tanda dan politik! Kira-kira ada hubungannya atau tidak, saya tidak bisa memberikan jawaban yang pasti, yang jelas mungkin ada relasi hubungan atau tidak? Sekiranya menarik untuk dianalisis. Sebab mainstrems analisis kita agak berbeda tentang permainan politik pada era tradisioanal dengan permainan politik pasca modern. Disinilah dibutuhkan berbagai pisau analisis untuk membedah apakah ada relasi hubungan atau tidak? Hasil analisis kita bukan hasil ramalan/tafsiran tradional, melainkan analisis kita cenderung analisis yang ilmiah dan modern.
Penanda yang dimaksud disini adalah Makna (Marisahaquei adalah seorang artis dan sekaligus politisi), sedangkan Petanda yang dimaksud disini adalah Konsep. Tanda yang dimaksud disini adalah gabungan dari dua elemen penanda dan petanda yang bersifat ambiguitas dalam sistem linguistik. Roland Barthes mengatakan dalam mitos penanda dibentuk beberapa tanda bahasa. Disisi lain mitos pada kenyataannya memiliki makna/fungsi ganda, memberitahu dan menunjukkan agar kita bisa memahami sesuatu dan membebani kita terhadap sesuatu itu. Penanda bisa hadir dalam menampilkan dirinya secara ambigu, ketika pada saat yang bersamaan bisa menyerupai makna sekaligus bentuk dan inilah yang membuat kita kerumitan dalam menganalisis permainan bahasa. Disinilah dibutuhkan kedalaman metodologi analisis dalam membongkar permainan bahasa.
Pada era modern permainan politik pun cukup canggih dalam mengikuti perkembangan wacana dan perubahan zaman. Michel Foucault mengatakan relasi tersebut memungkin terjadinya kontestasi wacana, kuasa dan kepentingan dalam membentuk dunia baru politik yang membingungkan. Wacana diskursus bahasa memungkin sesuatu untuk dikaitkan dalam membentuk relasi. Sebab permainan dunia tanda sarat dengan makna. Artinya makna tersebut tidak tunggal, melainkan direproduksi agar koheren dengan relasi-relasi yang ada. Ruang publik tersebut menjadi arena terjadinya pertarungan dan permainan bahasa/tanda. Dulu dunia politik hanya digeluti orang-orang yang memiliki begron/latar belakang politik, akan tetapi dalam konteks sekarang artis pun bisa masuk dalam ruang politik, padahal mereka tidak memiliki begron politik yang jelas. Kira-kira dimana nyambung dunia artis dan politik. Kalau kita memakai pisau analisis tradisional tidak mungkin karena memiliki segmen dan ketrampilan yang berbeda. Dalam konteks kekinian relasi tersebut memungkinkan bagi semua orang untuk berkompetisi, kita tidak lagi melihat ketrampilan atau skill seseorang sebab hal itu akan terperangkap dalam permainan tanda dalam membentuk citra, prestise, simulasi untuk memungkinkan seseorang memiliki ketrampilan dalam berbicara politik.
Dunia seolah-olah sudah dipenuhi dengan bahasa-bahasa politik tanda yang tidak jelas ujung pangkal. Hampir setiap jalan selalu ada poster, baliho, spanduk, media massa sebagai instrumen dalam menyuguhkan bahasa bersifat hiperbolik dalam merayu publik. Kadangkala kita terpesona dengan gaya bahasa yang menarik yang direpresentasi dalam menggambarkan realitas masyarakat. Disisi lain kadangkala kita merasa marah, karna masyarakat dijadikan objek sasaran politik menjelang pilkada. Ketika pasca pilkada bahasa para elit politik berbeda dengan kondisi pra pilkada, masyarakat dilupakan begitu saja tanpa terbebani dengan pengorbanan dan perjuangan rakyat. Tidak lepas dari apakah perjuangan masyarakat cenderung dimanfaatkan oleh orang tertentu atau tidak, wallahu allam. Akan tetapi dalam kenyataan realnya masyarakat dijadikan basis massa pasif dalam memenuhi hasrat dan libido partai dan para elit politik dalam merebut kekuasaan (Baca. Politik).
Dalam konteks kekinian defenisi politik tidak jelas lagi! Artinya ruang privat dan publik menjadi sasaran politisasi. Segala sesuatu yang ada didunia ini seolah-olah tidak lepas dari politisasi, artinya selalu dikaitkan dengan politik dan selesaikan secara politik pula. Kadangkala persoalan sosial dan kenegaraan tidak ada penyelesaian secara tuntas, cenderung diselesaikan secara prematur sesuai dengan kepentingan para elit politik. Dunia dan segalanya isinya rupa-rupanya tidak lepas dari politisasi apakah agama, budaya, ekonomi dan sebagainya selalu dikaitkan dengan politik. padahal ada hal-hal tertentu yang sebenarnya tidak punya kaitan dengan politik dan tidak pula diselesaikan dengan politik. tapi apa boleh buat karena politik menjadi kekuatan yang dahsat dalam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dimuka bumi ini, melainkan juga politik mengatur manusia dengan Tuhan. Katakanlah kasus ahmadiyah menjadi fenomena yang menarik akhir-akhir ini. Apakah konflik ahmadiyah dengan kelompok islam fundamentalisme betul-betul dilatar belakangi agama, ataukah konflik tersebut justru, kelompok islam fundamentalisme dimanfaatkan oleh para elit politik dalam mengalihkan isu kenaikan BBM dan menjelang pemilu 2009. Seharusnya tindakan represif dan anarkis bagi kelompok islam tertentu jangan mengatasnamakan agama dalam menyelesaikan persoalan. Justru tidak mencerminkan nilai-nilai yang dianjurkan agama. Karna ahmadiyah juga saya kira punya keyakinan dan konsepsi, kalaupun ada persamaan dan perbedaan keyakinan dengan kelompok mazhab islam yang lain kita ambil nilai baiknya dari kebenaran agama. Jangan ambil sesuatu yang buruk dari kebenaran agama yang mengancam potensi perpecahan dan pertengkaran antar sesama umat beragama.
Disinilah rumitnya dalam memahami permainan politik tanda yang selalu mengaitkan dan menghubungkan sesuatu yang sebenarnya tidak memiliki relasi yang jelas dalam menyambungkan bahasa dari satu objek ke objek yang lain. Ambuguitas penanda dan petanda sebagai ciri khas bahasa semiotika linguistik cenderung memaksa dalam menghubungkan dari setiap relasi, agar memiliki keterkaitan dalam menyambungkan makna dan konsep dalam realitas. Tanpa terlepas apakah makna dan konsep yang direpresentasikan itu bersifat orisinil atau palsu, disisi lain kadangkala bersifat orisinil dan kadangkala juga palsu. Sungguh membingungkan permainan bahasa yang mengutak-atik sana sini tanpa melihat kerusakan struktur kemapanan bahasa sebagai alat interaksi dan komunikasi. Melainkan bahasa menjadi alat lelucon/permainan yang tidak ada artinya dalam dunia sosial masyarakat.

Penulis, Abdullah Peminat Masalah Sosial Kemasyarakat.