Sebelum membincang lebih jauh tentang dekonstruksi, ada baiknya kita memperjelas ruang lingkup kajian kita” apakah dekonstruksi itu, dan untuk apakah dekonstruksi dalam kajian ini. Wacana dekonstruksi dipelopori oleh Jacques Derrida pemikir garda depan perancis yang beraliran post strukturalisme. Derrida melihat kerangka bangunan ilmu pengetahuan srukturalisme (Ferdinand de Seasurre dan Claude Levi Strauss) yang bersifat oposisi biner. Selalu menempatkan subjek dan objek, mendikotomisasikan konsep dan makna seperti teks/makna, pusat/pinggiran, laki/perempuan. Perkembangan wacana filsafat komtemporer barat mampu mempengaruhi khasanah dunia intelektualitas, seolah-olah kehadiran dekonstruksi sebagai terobosan interpretasi baru dalam membongkar klaim universalitas dan kemapanan pengetahuan dan kebudayaan barat. Tidak ada kata selain mendekonstruksi claim universalitas pengetahuan dalam membaca realitas zaman yang berubah. Mumpung mata pisaunya masih tajam kita bongkar dulu sana-sini hal-hal yang mencurigai menyimpan misteri kemapanan kita libas dulu, jangan ragu-ragu, karna keraguan membuat kita tidak berani untuk membaca zaman…!
Argementasi Arif Gunawan sangat kaku dalam memandang dekonstruksi sebagai pisau analisa yang katanya cenderung membabi buta dalam membongkar/memamah sana-sini hal-hal yang fundamen bagi manusia, katanlah agama dan budaya. Bagi saya sangat menarik kata dekonstruksi kita apresiasi secara jelih dan mendalam untuk dijadikan pisau analisis dalam membedah hal-hal yang mengarah kepada claim kebenaran dan kemapanan yang cenderung bersifat tertutup dalam menerima semangat zaman. Tidak ada claim agama, mazhab dan budaya tertentu yang dijadikan barometer untuk menilai kesalehan dan ketidaksalehan, islami dan tidak islami seseorang, sebab setiap ukuran memiliki standarisasi berdasarkan keyakinan masing-masing agama.
Khotbah Nietzsche tentang kematian Tuhan, Yang terjadi sebenarnya bukanlah kamatian Tuhan (mustahil wujud ada menjadi tidak ada/mati). Bagi Nietzsche kematian Tuhan dalam sejarah modern, sebab dalam era modern manusia tidak membutuhkan Tuhan jadikan sandaran hidup. Manusia semakin canggih dalam menemukan Tuhan-Tuhan baru yang dijadikan pegangan hidup. Tuhan tidak lagi menentukan masa depan manusia melainkan, manusia sendiri berusaha dalam menentukan dirinya. Ketika manusia memikirkan tentang Tuhan, kesadaran manusia terpenjara, diam, dan pasrah dalam menerima takdir. Interpretasi Nietzsche sangat radikal dan luar biasa dalam mengkontekstualisasikan semangat zaman. Sejarah masa lalu tidak memungkinkan, sebab kehilangan pesona dan legitimasi untuk dijadikan pegangan dalam menentukan sejarah masa depan. Hanya manusia unggul dapat meraih masa depan.
Dalam konteks paradigma HMI, sangat kaku dalam melihat semangat zaman sebagai ukuran kemajuan pengetahuan. Ada dikotomisasi konsep dan makna dalam melihat semangat zaman, artinya kita tidak melihat kelebihan dan kelemahan dari semangat zaman tersebut, akan tetapi kita melihat semangat zaman tersebut secara utuh tanpa melihat kelebihan dan kekurangan. Ketika kelebihan dan kekurangan selalu ada dibenak kita, secara tidak langsung cara kerja nalar kita tidak objektif selalu memisahkan rangkaian struktur bahasa (oposisi biner) sebagai konsekuensi dari kehadiran zaman yang selalu berubah. Setiap kehadiran apa saja pasti memiliki konsekuensi, karna konsekoensi sebagai akibat dari sebab. Kehadiran sebab dan akibat sebagai rentetan peristiwa masa lalu, kini dan masa depan, berdialektika secara terus-menerus, tanpa akhir.
Seolah-olah paradigma khittah perjuangan HMI menutup diri dalam membaca zaman. Sebab zaman tidak memungkinkan hal-hal yang berbau irasional dalam menjawab persoalan ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan lain sebagainya. Sebab persoalan membutuhkan kerangka keilmuan yang komprehensif dan metodologi kontekstual dalam menjawab tantangan zaman. Khittah perjuangan sebagai paradigma perjuangan HMI semestinya digeser dari paradigma teosentris ke antroposentris. Menarik apa yang dilontarkan Hasan Hanafi dalam buku islamologi. Gagasan hanafi menarik dijadikan rujukan dalam membongkar kemapanan khittah perjuangan HMI berbau onto teologis, hanya berbicara pada dimensi idealisme konsep tanpa dipersentuhkan dengan realitas. HMI Sangat filosofis penjelasannya dalam menjelaskan Keyakinan Muslim, Wawasan Ilmu, Wawasan Sosial, Etos Perjuangan, Kepemimpinan dan Hari kemudian. Sangat abstrak penjelasan khittah HMI, sehingga agak kesulitan ditafsirkan kebumi. Disisi lain HMI tidak memiliki metodologi yang pas dalam menafsirkan teks untuk dipersentuhkan dengan fakta real dilapangan, itu berputar pada tataran filosofis semata. Saatnya kita geser kerangka epistemologi dari idealisme ke realisme. Out put dari hasil perkaderan kita menciptakan kader-kader yang tidak jelas orientasi. Pada umumnya kader kita kebanyakan stagnan, kaku, dan menutup diri ditengah masyarakat. Seharusnya kader-kader berkompetisi diwilayah publik sesuai dengan skill dan ketrampilan dalam mencerahkan masyarakat, baik dalam sistem maupun diluar sistem. Gak bisa disalahkan individu sebagai kader HMI, melainkan sistem perkaderan kita gak kontekstual dengan zaman. Pada zaman orde baru memungkinkan untuk diciptakan satu karakter kader, tidak mau terlibat dalam sistem yang gobrok. Akan tetapi dalam konteks kekinian paradigma tersebut tidak memungkinkan untuk dipertahankan sebab zaman sudah berubah walaupun perubahan tidak secara substansial, akan tetapi apa yang mesti dilakukan HMI dan masyarakat pada umumnya dalam mengawal wacana perubahan secara komprehensif sebagai manifestasi perjuangan.
Sekarang peluang sudah terbuka selebar-lebarnya bagi kader HMI dalam berkompetisi diranah publik. Pertanyaannya apakah model perkaderan kita siap dalam merekayasa kelembagaan, sehingga kader HMI memiliki kemampuan analisis sesuai dengan bidang keilmuan. Model perkaderan kita masih parsial dalam melihat realitas situasi sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan masih dikuasai oleh kelompok borjuasi yang berkedok baju baru. Pada era zaman orde baru paradigma HMI masih kental oposisi total, ketidak percayaan terhadap sistem pemerintahan orde baru yang represif dan otoriter, karna pada saat itu tekanan rezim ORBA dalam memaksa semua organisasi untuk menerima pancasila sebagai asas organisasi, itu tidak lepas dari kepentingan politik Soeharto dalam mempertahankan kekuasaan. HMI-MPO sebagai kelompok radikal dan militan tetap mempertahankan/memperjuangkan asas islam sebagai asas organisasi. HMI-MPO sebagai organisasi pemberani dalam melawan alumni HMI sendirinya yang dekat dengan Soeharto yang tidak konsisten dengan nilai-nilai ke-HMI-an. Kader HMI-MPO hanya bermodalkan semangat nilai-nilai keislaman dalam menjalankan visi misi perjuangan keummatan, walaupun tersendat-sendat dibawah tekanan orde baru. Doktrin ketauhidan sebagai manifestasi dari keyakinan, masih percaya adanya kekuatan ilahiah sebagai sumber motivasi, inspirasi dan inovasi dalam menginjeksi semangat ke-islam kader-kader HMI-MPO tetap konsisten dalam memperjuangkan nilai-nilai ke-islaman.
Dari paradigma oposisi total digeser menjadi kritik konstrukti agar relevan dengan perubahan zaman. yang menjadi persoalan adalah model perkaderan kita masih menggunakan model perkaderan lama. Semestinya model perkaderan kita harus dirubah, masih menggunakan model perkaderan tahun 90-an. Tidak relevan, katakanlah desain kebijakan HMI secara eksternal, “Gerakan Tamaddun” dan desain kelembagaan secara internal, “Perkaderan” sebagai upaya akselerasi yang tidak seimbang dalam membaca zaman. Out put dari hasil perkaderan kita mengambang, tidak jelas orientasi. Mau masuk dalam sistem ragu-ragu jangan sampai larut dalam sistem. Begitupun sebaliknya kader yang ada diluar sistem menyalahkan kader-kader yang ada didalam sistem yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk perubahan. Bagaimana perkaderan HMI merekayasa dan menyiapkan kader unggulan dimasa depan.
Kehadiran tulisan ini bukan untuk menghancurkan HMI, melainkan prihatin terhadap kondisi HMI dalam konteks kekinian semakin tenggelam dan larut dalam arus globalisasi.
“No Name, Kader HMI Cabang Makassar”